SUMENEP, (Transmadura.com) – Ketua Fraksi PPP DPRD Sumenep, Madura, Jawa Timur H Latib angkat bicara adanya pengaturan penggunaaan pengeras suara atau toa di Masjid, Langgar dan Mushalla oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Pasalnya, surat edaran Kemenag RI ini dinilai tidak objektif dalam penetrapan pengaturan tersebut. Alasannya, masalah keagamaan bukan bagian dari wilayah privat yang sejatinya tidak perlu diintervensi oleh pemerintah. Apalagi, ini berkaitan dengan syiar dan dakwah Islam.
Kemenag RI mengeluarkan edaran pengaturan toa di Masjid dan Mushalla. Di mana aturan itu ditekan Menteri Agama pada (22/02/2022).
Hal ini dilalukan agar tercipta ketentraman, ketertiban dan keharmonisan antar warga.
“Kami sangat menyesalkan adanya pengaturan pengunaan toa dalam kegiatan keagamaan di Masjid dan Mushalla, termasuk adzan. Jadi, kami sangat kecewa atas adanya pengaturan itu,” kata Ketua Fraksi PPP H. Latib.
Menurutnya, masalah pengunaan pengeras suara harusnya tidak diatur oleh pemerintah. Melainkan hal itu merupakan kesepakatan antara pengurus masjid atau mushalla dengan warga sekitar. Apalagi, pada wilayah yang notabenya mayoritas Muslim. Seperti di Madura ini.
“Ini soal privat dalam beragama, tak perlu diatur oleh pemerintah. Jadi, soal pengeras suara, hanya masalah komunikasi antara warga dengan pengurus, semisal takmir,” ujarnya.
Pria yang juga menjabat wakil Ketua DPC PPP Sumenep ini, dalam menetapkan regulasi juga dilihat pada aspek lokalistiknya. Jadi, setiap daerah tidak perlu sama dalam pengetrapannya. Sebab, masing-masing daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda.
“Apabila memang terpaksa diatur, maka perlu ada penjelasan wilayah. Misalnya, di Madura tidak pernah merasa bising dengan urusan toa. Bahkan, sangat mendukung, karena bagian dari syiar Islam,” ungkapnya.
Selain itu, pihaknya juga menyesalkan dan sangat kecewa adanya perumpaan antara kebisingan pengeras suara dengan gonggongan anjing. “Ini perumpamaan yang tidak masuk akal. Anjing itu dalam Islam hewan yang najis, tapi malah adzan diumpamakan anjing. Kami sangat kecewa,” ujar anggota komisi III ini.
Untuk pihaknya meminta Kemenag untuk kembali melakukan kajian atas regulasi yang sudah diambil itu. Apalagi, Kemenag itu masih memiliki banyak pekerjaan lain yang dianggarkan itu lebih penting. “Daripada ngurus urusan toa, mending ngurus kebijakan lebih besar dan memiliki dampak pada kemajuan Indonesia,” pungkasnya.
(Asm/red)